COVID-19: Problem, Reaksi dan Solusi (2)

COVID-19: Problem, Reaksi dan Solusi (2)Dok Pribadi
Musrafiyan, penulis artikel ini

Oleh: Musrafiyan*

PENYESUAIAN data tersebut dituturkan oleh Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani dalam keterangannya menyebutkan bahwa data tersebut dilihat berdasarkan asesmen dari Bank Indonesia, OJK dan LPS. Kemudian ia menambahkan bahwa rupiah juga akan berpotensi melemah hingga angka Rp.20.000,- per dollar AS.

Pemaparan ini didasarkan pada asumsi makro 2020 yang seluruhnya diprediksi akan mengalami perubahan, termasuk harga minyak mentah Indonesia yang akan anjlok menjadi USD 31 Per Barel.


Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menjelaskan bahwa penyebab melemahnya rupiah dikarenakan investor panik sehingga terjadi apa yang disebut dengan pembalikan modal (capital outflow).

Capital outflow ini yang kemudian terjadi di seluruh negara termasuk Indonesia, dimana hal ini pula yang menjadi penyebab pelemahan nilai tukar rupiah, dan turut didorong oleh kepanikan masyarakat global akibat Covid-19.


Dalam penanganan Covid-19 ini, sudah menjadi hal ihwal yang mengharuskan pemerintah kita untuk menunjukkan bantuan berskala besar dengan kompetensi berbasis big data. Hitung-hitungan pengeluaran bukan hanya merupakan aspek utama dalam penanganan Covid-19 ini, bahkan bisa lebih besar dari itu.

Namun pola pemetaan cara dan program yang efektif dan efisien turut dibutuhkan dengan cepat dan akurat penempatannya. Dalam hal ini, penulis mecoba untuk mengkaji apa dan sejauh mana pergerakan para pemangku tahta tertinggi bangsa ini untuk saling merangkul guna menciptakan situasi yang kondusif dan penyelesaian akhir yang berdampak positif


Perspektif komunikasi dalam penanganan Pandemi Covid-19 harus diletakkan dalam bingkai komunikasi bencana. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) (2020), melakukan analisis dampak ekonomi atas pandemi Covid-19 dengan mengusulkan delapan rekomendasi kepada pemerintah Indonesia.

Pertama, urgensi karantina wilayah. Kedua, realokasi anggaran berfokus pada penanganan Pandemi Covid-19. Ketiga, guncangan (Shock) yang terjadi akibat Covid-19 tidak hanya dari sisi konsumsi (Demand) tetapi juga produksi (Supply). Keempat, Sektor jasa yang akan paling terdampak akibat Pandemi ini, terutama jasa pariwisata dan maskapai. Kelima, ekonomi China kembali bangkit setelah gelombang epidemi berlalu. Namun hal ini masih belum menjadi angnin segar bagi industri domestik.

Keenam, selamatkan manusia dan korbankan ekonomi dalam jangka pendek agar dampak tidak terasa pada jangka panjang. Ketujuh, satu-satunya Stimulus yang utama diberikan bagi industri adalah menjaga agar gelombang PHK tidak besar. Kedelapan, memastikan kecukupan dan keterjangkauan pasokan pangan.

Dalam konteks inilah, Pandemi Covid-19 harus ditangani dengan manajemen kebencanaan secara modern dan terstruktur. Karena dalam hal ini, kondisi negara pun sulit untuk bisa diprediksi dari satu waktu hingga beberapa waktu kedepan, akibatnya ragam ketidakpastian akan mulai dirasakan baik dari masyarakat yang mengharap iba dari pemerintah, maupun pemerintah yang mulai sulit untuk memastikan apa yang seharusnya diwujudkan dengan gambaran situasi yang tak selamanya dapat diprediksi akan kondusif. Hingga, opsi akhir yang seharusnya diwujudkan ialah menampilkan dan membangun payung hukum sebagai kebijakan pasti dan sistematis.

Dalam fokus kajian ini, pemerintah merupakan aktor dengan kepemilikan andil penuh untuk melaksanakan kewenangannya dalam merumuskan kebijakan mulai dari pusat hingga daerah.

Dalam aspek legacy, pemerintah sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang sebagai aturan tertulis yan cukup kuat guna dijadikan alat pada penyelesaian kasus Covid-19 ini.

Beberapa aturan diantaranya, seperti UU No. 4 Tahun 2007 tentang Penanggulanhan Bencana, Peraturan PP No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.

Adapun beberapa peraturan yang memfokuskan diri ada persoalan kesehatan juga telah ada, hanya saja skema penerapan dan pelaksanaan yang dirasa masih rancu. Seperti UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, dan yang terakhir Kepres No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).


Permasalahannya terletak pada ketidakmampuan pemerintah dalam hal penempatan regulasi yang menjadi prioritas utama, alhasil dampaknya terlihat tatkala skema penanggulangan mengalami problem mendasar. Salah satu contohnya ketika Presiden mengeluarkan statement untuk memberlakukan darurat sipil dalam penanganan Covid-19.

Secara regulasi tertulis, status darurat sipil diatur dalam Perpu No.23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Dengan beberapa catatan penting bahwa Perpu ini dapat berlaku ketika dalam sebuah negara sedang mengalami pemberontakan ataupun perang besar-besaran.

Namun dalam kasus ini yang tengah kita hadapi adalah Covid-19, dengan ketentuan telah ada aturan yang turut mengaturnya sendiri. Artinya apa, akibat dari ketidakbijakan pemerintah dalam mengeluarkan statement, menghadirkan beragam spekulasi dari rakyat.

Dimana pemerintah seolah memaksakan suatu kebijakan yang tak berlandasakan keterangan jelas. Hingga tak salah ketika disebutkan bahwa, pemberlakuan darurat sipil ini untuk melindungi kekuasaan penguasa dengan membatasi kebebasan rakyat tanpa kewajiban membantu rakyat.

Covid 19, Penanganan dan Kolaborasi Global

Sudah seharusnya bangsa ini menyebarkan pesan penyemangat bagi seluruh umat di tiap penjuru negeri. Kabar ODP, PDP, positif bahkan kabar kematian akibat Covid-19 yang kerap kali dihadirkan media seolah menjadi momok menakutkan bagi tiap insan yang bernafas dikala ini.

Sudah sepatutnya framing buruk media turut ditenggelamkan dengan menghadirkan kabar baik, penyemangat, positif, optimis serta semarakkan dengan kampanye peduli sesama, terutama bagi mereka yang sedang berpacu melawan Covid-19.

Sebagaimana dikutip dari Kepala Badan Kesehatan Dunia (WHO), Dr.Tedros Adhanom Ghebreyesus, meskipun otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia memiliki kemampuan untuk berhasil memerangi penyebaran virus, organisasi tersebut khawatir bahwa di beberapa negara tingkat komitmen politik tidak sesuai dengan tingkat ancaman.

Epidemi ini dapat dipukul mundur, tetapi hanya dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi dan komprehensif yang melibatkan seluruh mesin pemerintahan,
Sehingga kita harus berharap bahwa Pandemi Covid-19 ini menyadarkan manusia atas bahaya akut dari perpecahan.

Umat manusia harus membuat pilihan, apakah kita akan berjalan mundur menuju perpecahan atau maju dengan memilih jalur solidaritas global ?.

Kolaborasi secara kolektif akan menghantarkan kita pada tingkat pencapaian yang maksimal, kerja sama dalam penanggulangan, hingga membantu sesama dalam krisis kemanusaiaan.

Solidaritas global lah yang akan membawa kita pada jalur kedigdayaan, tak hanya kemenangan dalam menanggulangi Covid-19, melainkan seluruh Pandemi dan krisis yang mungkin menimpa umat manusia di abad 21.

* Penulis: Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara dan Koordinator UKK Riset dan Publikasi Ilmiah UIN Ar-Ramiry. (Habis)

Halaman:1234

Komentar

Loading...