Abuya Muda Waly Al-Khalidy di Era Pembaharuan Islam Milenial Selatan

Abuya Muda Waly Al-Khalidy di Era Pembaharuan Islam Milenial Selatan
Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Della Irfana. |FOTO: IST

SEURAMOE DUNIA ISLAM - Timbulnya berbagai persoalan perdebatan pendapat membuat para ulama yang lahir turut menjadi ujung tombak bagi sebuah permulaan kehidupan masyarakat Aceh khususnya. Sejalan dengan impian dan kerja keras, ilmu membawa seseorang menuju hidup yang sejahtera. Kendati demikian, rintangan terus bergejolak seiring dengan berjalannya kehidupan.

Bak buah jatuh tak jauh dari pohonnya dan seperti cermin yang memantulkan bayangan yang sama. Seperti itulah perjalanan para pencetus ulama tak berjalan di tempat, melainkan mereka hadir sebagai membawa perubahan zaman hingga mewarisi pada anak dan keturunannya.

Lahir dan besar dari orangtua sebagai seorang pendakwah dan guru agama. Muhammad Waly lahir pada tahun 1917 M di Dusun Darussalam. Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh Selatan, merupakan anak dari pasangan Teungku Haji Muhammad Salim bin Palito yang berasal dari Kecamatan Kuta Baru, Batu Sangkar, Sumatera Barat dan Siti Janadat bin Meuchik Nyak Ujud yang berasal dari Kuta Palak, Kecamatan Labuhanhaji Aceh Selatan, beliau merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada saat umur 12 tahun, Ibundanya berpulang kerahmatullah dan tinggallah Ia bersama dengan sang-ayah.

Muhammad Waly memulai belajar dan mendapatkan pendidikan dasar keagamaan juga dari Ayahnya. Muhammad Waly belajar al-Quran dan kitab-kitab kecil mengenai tauhid, fiqh dan ilmu dasar bahasa Arab. Disamping ibu Muhammad Waly sekolah di Volks-Scool  atau sekolah yang didirikan penjajahan Belanda untuk menampung hasrat anak-anak desa dengan lama waktu hanya tiga tahun.

Setelah lulus kemudian Muhammad Waly melanjutkan pendidikan ke pesantren Ibukota Labuhanhaji, yakni pesantren Jami’yyah al-Khairiyyah di bawah pimpinan Teungku Muhammad Ali yang dikenal masyarakat Labuhanhaji dengan panggilan Teungku Lampisang Aceh Besar selama lebih empat tahun, di pesantren itulah Muhammad Waly berkenalan dengan teman-teman yang akhirnya merupakan kelompok perjuangan untuk kepentingan Islam, Ahlusunnah wal Jama’ah, seperti Haji Nyak Diwan, Haji Mustafa Mizani, dan lain-lain. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke pesantren Bustanul Huda yang bertempat di Ibukota Blang Pidie. Muhammad Waly mempelajari kitab-kitab yang masyhur di kalangan ulama yang bermazhab Syafi’i seperti kitab Inatut Thalibin, Tahrir dan Muhalli dalam ilmu fiqih: Lfiyah dan Ibnu ‘Aqil, dalam ilmu bahasa Arab, Muhammad Waly merupakan murid yang cerdas dan bijaksana.

Tak hanya itu Muhammad Wali berani dalam meluruskan bacaan dan syarahaan yang di ungkapkan oleh seorang ustadz ketika kala itu Muhammad Waly hijrah ke Pesantren Krueng Kalee, Indrapuri, Aceh Besar. Oleh sebab itulah pimpinan pesantren Teungku Syeikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Muhammad Waly sebagai salah seorang guru yang dianggap senior untuk membantunya selama setahun kedepan. Kemudian dengan datangnya tawaran pendidikan dari Teungku Hasan Glumpang Payong seorang pemimpin masyarakat Aceh, Muhammad Waly mendaftarkan diri di sekolah Normal Islam School dengan pemimpinnya tamatan dari Al-Azhar dan Darul U’lum, Cairo, Mesir yakni Ustad Mahmud Yunus di Sumatera Barat dan setelah itu Muhammad Waly melanjutkan pendidikan di Cairo, Mesir.

 Setelah berada dalam jajaran para ulama besar di Sumatera Barat, beliau bergelar Mangku Mudo atau Tuanku Mudo Waly atau Angku Aceh. Sedangkan  eliau sendiri menulis namanya dengan Muhammad Waly atau secara lengkapnya Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Kahalidy. Berkenalan dengan Syeikh Jamil Jaho menjadikan Muhammad Waly sebagai menantunya. Maka Muhammad Wali menikah dengan putri yang termasuk ‘alim yaitu Hajjah Rabiah Jamil. Dari perkawinan itu lahirlah Abuya Ahmad Waly dan Abuya Mawardi Waly.

Kepergian Syeikh Haji Muhammad Waly ke tanah suci Mekkah sekitar tahun 1939. Sambil menunaikan ibadah haji beliau juga mengahi dan belajar ilmu pengetahuan pada ulama yang mengajar di Masjidil Haram. Ulama besar Mekkah yang mengajar pada waktu itu ialah Syeikh Ali Maliki, pengarang kitab “Hasyiah dari Al-Asybaah wan Nadhooi”, oleh Jalaluddin As-Suyuthi. Beliau mendapatkan ijazah islamiah dari Syeikh Ali Maliki bahkan ijazah hadis dan lainnya.

Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy kembali ke Aceh Selatan dengan menggunakan perahu layar dari Padang ke Aceh. Di Kecamatan Labuhanhaji. Pesantren pertama yang dibangun masih berupa bangunan seadanya saja, Aabuya hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Keadaan pesantren tumbuh begitu pesat

Beberapa karya buku/kitab karangan Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy sebagai berikut; pertama Al-Fatwa, yaitu hukum yang mengarah dalam bidang fiqih, terkait dalam ibadah dengan mazhab Syafi’I yang berbahasa Arab Jawi dan Arab. Kedua Tanwirul Anwar, yaitu syarahan (penjelasan yang dijabarkan) khusus tentang tauhid. Ketiga Intan Permata dan Permata Intan yaitu, dua kitab yang berbeda mengenai dzat Allah, hakikat utusan Allah, dan syahadat kepada Rasul. Sedangkan dalam kitab Permata Intan menjelaskan tentang akidah tauhid dan hakikat syahadat menurut Ahlusunnah Wal Jamaah. Keempat Hasyiah Tahfatul Muhtaj yaitu salah satu kitab beliau yang sangat fenomenal yang merupakan hasil kumpulan syarahan yang berkapasitas tinggi dalam ilmu fiqih.

Keramat yang diberika Allah kepada Syeikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy yaitu: Pertama, Abuya berhasil mencetak ulama-ulama besar termasuk anak-naknya. Kedua, Abya melempar batu kerikil dan menebas batang talas, Ketiga, Abuya menebas bunga sebagai suatu isyarah, Keempat, Abuya bisa mengarungi arus yang deras, Kelima, Abuya memiliki firasat batin untuk bisa melihat hal-hal yang sebelumnya. Keenam, pada 20 Maret 1961 setelah beliau wafat munculnya cahaya atau keumala dari peti jenazahnya.

Wafatnya ulama merupakan hal yang krusial dan rasa simpati hadir dari berbagai kalangan seperti keluarga, kerabat dan santri sebagai muridnya. Kepergian meninggalkan duka yang mendalam, dibalik semua itu Abuya dikenal masyarakat baik dalam maupun luar Sumatera, berkat kegigihannya dalam bercita-cita menjadi ulama yang membawa perubahan hingga modernisasi saat ini.(*)

Penulis: DELLA IRFANA, Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

Halaman:1234

Komentar

Loading...