Ingat! Dalam Tradisi Islam, Pemimpin Harus Siap Dikritik

Ketika si imam salah, baik dalam perkataan dan perbuatan, maka makmum berkewajiban mengingatkan si imam.
"Bagi laki-laki baca subhanallah, bagi perempuan tepuk tangan. Qiyasan shalat ini pada kehidupan bernegara. Kalangan parlemen dan orang dekat presiden bisa bicara langsung pada presiden sebagaimana makmum laki-laki mengucap subhanallah. Tapi, bagi yang jauh, kritikannya kepada imam dengan tepuk tangan. Mungkin sama dengan rakyat yang demo dan sebagainya," katanya memaparkan kepada Republika.
"Tepuk tangan dan ucapan subhanallah itu tidak pula sampai sorak-sorak. Hanya sekadar si imam itu tahu kalau dia salah. Jadi, rakyat yang merasa tidak terwakili aspirasinya oleh parlemen bisa berdemo. Tetapi, jangan demo yang merusak. Inilah adab dalam mengingatkan pemimpin," katanya menambahkan.
Tidak hanya bagi rakyat, Cholil juga menyasar pada pemimpin. Sebagaimana dalam shalat, seorang imam tidak boleh ngotot kalau dia yang benar. Jika memang dia salah, ia segera kembali pada kebenaran. Bahkan, ia bertobat dengan sujud sahwi pada akhir masa jabatannya sebagai imam.
"Seorang imam, telinganya harus kuat dan peka membaca aspirasi rakyatnya. Kalau di media sosial memang tidak bisa diakomodir dan menjadi landasan membuat kebijakan. Tapi, kalau dari tokoh masyarakat itu bisa ditanggapi," jelasnya.
Kicauan masyarakat yang terkadang vulgar dalam mengkritisi pemimpin di media sosial juga perlu dihindari. Menurut Cholil, bukan seperti itu etika Islam dalam menyampaikan kebenaran.
"Media sosial itu sekarang jadi barometer kebebasan orang. Mereka bebas menyampaikan apa saja. Di media sosial tidak ketahuan mimiknya, sehingga secara psikologi menempatkan semua orang sama tanpa ada batasan pendidikan, kedudukan, dan sebagainya," ujarnya. (Rol)
Komentar