Perlu Dibaca
Mungkin Kisah Ini Bisa Menyadarkan Kita. Semoga!

INI Kisah persahabatan antara ‘Auf bin Malik al-Anshari dengan as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri.
Saking akrabnya, mereka saling bertutur, siapa meninggal duluan maka yang belakangan akan datang untuk menziarahi.
Taqdirnya, as-Sha’ab bin Jatstsamah al-Muhajiri meninggal lebih dulu.
Bebebrapa lama setelah kepergian ash-Sha’ab, ia hadir dalam mimpi Auf bin Malik. Kata ash-Sha’ab, “Mengapa engkau terlambat?”
Bukan kita menentukan segala sesuatu. Semuanya ada dalam Kekuasaan Allah Ta’ala. Jika Dia Menghendaki terlepas, terlepaslah.
Dan jika Dia Menghendaki terbelenggu, maka terbelenggulah.” jawab ‘Auf bin Malik.
Kemudian, ‘Auf bin Malik bertanya kepada sahabatnya itu
“Apakah orang sudah meninggal dunia bisa merasakan kehadiran orang hidup yang menziarahinya?”
“Ya.” Jawab ash-Sha’ab, “Ini buktinya.” Ash-Sha’ab menunjukkan warna hitam di salah satu lututnya.
“Mengapa lututmu berwarna sehitam itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Aku memiliki hutang sepuluh dinar kepada seorang Yahudi. Aku belum sempat membayar hutangku kepadanya.” tutur ash-Sha’ab.
“Apakah anakmu mengetahui hutangmu itu?” tanya ‘Auf bin Malik.
“Tidak ada yang mengetahuinya.” jawab ash-Sha’ab.
“Pergilah ke rumahku. Ambilkan uang yang aku simpan di dinding batu.” pesan as-Sha’ab di dalam mimpi.
Tak lama setelah itu, ‘Auf bin Malik terbangun.
Siang harinya, ia bergegas ke rumah sahabatnya itu, mencari dinding menggunakan batu, mengambil uang dan membayarkannya kepada si Yahudi.
Jumlahnya persis sepuluh dinar.
Sesampainya ‘Auf bin Malik di rumah si Yahudi seraya membawa uang untuk melunasi hutang ash-Sha’ab, si Yahudi terbelalak.
“Demi Zat yang mengutus Musa dengan kebenaran. Sungguh, tidak ada seorang pun mengetahui hal ini (kecuali aku dan ash-Sha’ab bin Jatstsamah).” ujar si Yahudi.
Kawan, apakah orang tua kita sudah meninggal dunia? Apakah ada sahabat dekat dalam iman sudah dipanggil Allah Ta’ala?
Adakah guree, teungku, ustadz, kiai, mak beut atau siapapun yang berjasa dalam hidup kita lebih dulu menghadap Allah Ta’ala?
Jika sudah, seberapa sering kita mengunjunginya? Berapa kuantitas kita dalam menziarahinya?
Jika tidak pernah apalagi anti-ziarah, kisah ini seharusnya menyadarkan Anda! Wallahu a’lam. (*)
Komentar