Saatnya Perempuan Merdeka dari Sandera Sistem Kapitalisme

Oleh:
Yulida Hasanah
SUNGGUH menyayat hati
siapa saja yang melihatnya. Kisah tragis datang dari sebuah kontrakan di
Perumahan Kaliwining Asri Blok C6, Dusun Bedadung Kulon, Desa Kaliwining,
Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember, Jawa Timur (14/8/2019).
Seorang gadis kecil, bahkan masih sangat kecil. Di usia 14 bulan, bayi perempuan berinisial N harus menghadapi kenyataan pahit seorang diri. Bagaimana tidak? Ayah (Fauzi, 40 tahun) yang selama ini mengasuhnya seorang diri, terbujur kaku dalam pelukan sang bayi selama 3 hari, sebelum akhirnya dievakuasi oleh warga dan polisi. Dan yang l
Lebih tragis lagi, selama 3 hari itu pula, sang bayi tak mendapatkan asupan makanan, apalagi mandi. Sedangkan Ibu dari bayi N ini, sedang mengadu nasib ke negeri orang menjadi Tenaga Kerja Wanita.
Bisa kita bayangkan, berapa banyak para suami yang
ditinggal pergi karena sang istri menjadi TKW ke luar negeri. Dan berapa banyak
anak yang ditinggal pergi oleh para ibu, dengan alasan ekonomi keluarga butuh
dibantu. Sangat miris sekali! Ketika bumi pertiwi yang sedang memeringati hari
kemerdekaannya. Ketika pemerintah mengabarkan bahwa kesejahteraan rakyat makin
meningkat. Dan ketika dengan bangga, negeri ini menyibukkan diri memerangi
radikalisasi. Ketika itu juga, para suami menjerit dalam hati “kapankah mereka
mampu membahagiakan anak istri?”
Kekuatan peran ayah bahkan mulai melemah dalam mencari
nafkah. Bukan karena tak mau bekerja, bukan juga karena faktor menyengaja.
Namun, kondisi kehidupan mereka saat ini berbicara, bahwa para perempuan/para
ibu lebih mumpuni terjun dalam dunia ekonomi.
Kapitalisme Menyandera Fitrah Kaum Ibu
Ketika ide kesetaraan gender dalam ekonomi yang lahir
dari Ideologi kapitalisme ini terus digenggam kuat. Maka, gambaran ideal peran
Ibu dalam rumah tangga semakin akan semakin langka. Alih-alih memberikan
pelayanan terbaik bagi suami, anak-anak mereka saja sudah tak sempat menemani
masa-masa golden age-nya. Itu yang bekerja menjadi buruh pabrik. Apalagi yang
bekerja hingga ke luar kota atau luar negara?. Ya, kita tak bisa membayangkan,
bagaimana fitrah kaum ibu tersandera atas nama ekonomi.
Kapitalisme, sebuah ideologi yang melahirkan ide
pemberdayaan ekonomi perempuan, malah dengan bangga didengung-dengungkan oleh
kaum feminis. Ide ini telah menyihir wanita-wanita Indonesia untuk terjun
langsung di sektor ekonomi. Harapan mampu memberi solusi dari persoalan
keluarga termasuk masalah perekonomian negara, malah berbuah kenyataan pilu.
Namun, itu tak memengaruhi para ibu untuk tetap
menjadi penjaga ekonomi keluarga. Terlebih setelah Menteri Ekonomi Indonesia
mengatakan bahwa pengangguran tertinggi disandang oleh kaum perempuan.
Kelicikan inilah yang akhirnya menyebabkan angka partisipasi perempuan dalam
dunia kerja pun menunjukkan tren peningkatan setiap tahunnya.
Berdasarkan data badan pusat statistik per tahun
2018 saja, menunjukkan angka partisipasi perempuan di dunia kerja kurang
lebih sebesar 51,88{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} dari total angkatan kerja. Jumlah ini meningkat 0,99 {0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}
dari tahun sebelumnya. Sementara itu untuk pekerja migran dari kalangan perempuan
pun jumlah yang tercatat secara prosedural lebih banyak dibanding laki-laki (21
{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} laki-laki dan 30 {0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} perempuan) dari total keseluruhan buruh migran.
Besarnya risiko yang harus dihadapi buruh perempuan
tak jua menjadikan negara serius menyelesaikan masalah yang terus berulang.
Bukannya mengupayakan pembukaan lapangan kerja bagi kaum laki-laki, negara
justru mendorong agar kaum perempuan bekerja. Dengan alasan kesetaraan gender
dalam ekonomi, menjadikan bekerja bagi perempuan juga wajib hukumnya. Tak lagi
melihat efek domino yang memengaruhi ketahanan dalam keluarga.
Dengan Islam, Perempuan
Merdeka dan Kembali pada Fitrahnya
Cukuplah keluarga N yang ada di Jember, Jawa Timur,
sebagai pelajaran bagi kita dan bagi Ibu N yang akhirnya pulang dari Taiwan
untuk menemui putri semata wayangnya. Dan kita tak menginginkan kondisi yang
sama, terjadi pada keluarga kita dan keluarga di Indonesia.
Terlebih, setelah Islam hadir memberikan jalan keluar
bagi manusia-manusia yang bertaqwa. Ajaran Islam bukanlah ajaran yang akan
menyengsarakan hidup manusia. Menerapan seluruh aturannya, justru menjadi jalan
bagi semua masalah yang ada. Termasuk masalah ekonomi yang mengorbankan fitrah
perempuan sebagai manusia.
Syari’at mulia yang Allah SWT turunkan kepada
Rasulullah Saw ini, tak sekedar mengatur masalah ibadah ritual semata. Masalah
ekonomipun telah ada solusi tuntasnya.
Islam telah meletakkan kewajiban nafkah kepada kaum
laki-laki saja. Oleh karenanya, ketika syari’at islam diterapkan dalam sebuah
negara. Maka, Khalifah sebagai kepala negara akan menjamin lapangan kerja bagi
kaum laki-laki seluas-luasnya. Dan menerapkan mekanisme yang jelas apabila
masih ada kemiskinan yang menimpa rakyatnya, hingga dipastikan tiap-tiap kepala
keluarga mampu memenuhi nafkah wajibnya.
Selain itu, bagi kaum perempuan. Islam hadir dan ada
sebagai sebuah agama dan syari’at yang penuh rahmat. Dalam Islam, perempuan menempati
kedudukan mulia yakni sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Itulah
posisi terbaik bagi wanita, karena Allah Pencipta segenap makhluk sangat
mengetahui apa yang terbaik bagi mereka.
Karena kewajiban utamanya menjadi ibu dan pengatur
rumah tangga, maka Islam memberi hak bagi perempuan untuk mendapatkan nafkah
dari suaminya. Mereka tinggal di dalam rumah, tetapi mendapat pemenuhan
kebutuhan hidupnya secara makruf (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223).
Selain itu, Islam sangat memperhatikan peran dan tugas
ibu karena ibulah kunci lahirnya generasi tangguh yang akan melanjutkan
peradaban yang lebih baik. Menjadi ibu berkualitas haruslah memiliki kecerdasan
spiritual, kecerdasan ruhiyah yang menyadari bahwa dirinya adalah hamba Allah
yang wajib menjalankan seluruh peran keibuan dalam rumah tangga dan meyakini
semua itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah Swt. Wallaahua’lam.(*)
Komentar