Perlu Anda Ketahui..! Apa Hukumnya Berhaji Dengan Uang Korupsi?

HAJI Adalah rukun Islam penutup bagi setiap Muslim yang
mampu. Bukan sekadar perjalanan religi, apalagi penyematan status sosial haji
disyariatkan agar jamaah menyaksikan berbagai manfaat. Dengan haji, umat Islam
diharapkan dapat menjadi orang-orang yang bersyukur. Saat Allah memberikan
rezeki, mereka pun menyebut nama-Nya.
Kewajiban berhaji bagi umat Islam tertuang baik dalam
Alquran maupun hadis. "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.
Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam." (QS Ali Imran[3]: 97).
Rasulullah SAW mewajibkan umatnya yang mampu untuk
berhaji minimal sekali seumur hidup. Rasulullah menyeru kaum Muslimin untuk
bersegera berangkat ke Tanah Suci karena tidak ada seorang pun yang mengetahui
apa yang akan terjadi padanya. Nabi juga pernah bersabda tentang manfaat haji
bagi manusia di dunia dan akhirat.
"Selalu tunaikanlah haji dan umrah karena keduanya
menghilangkan kemiskinan dan dosa sebagaimana api menghilangkan kotoran besi,
emas, dan perak. Dan, tiada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga. (HR
Tirmidzi).
Dari lima rukun Islam, hanya haji yang memiliki syarat
jika mampu. Perjalanan haji ke Masjidil Haram, Arab Saudi, memang mengharuskan
umat Islam memiliki dana cukup besar.
Karena itu, dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tarmidzi, Rasulullah mengancam orang yang tidak melaksanakan haji akan mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani dengan diawali kalimat syarat.
"Barang siapa yang memiliki bekal dan kendaraan
yang bisa membawanya ke Baitullah, tetapi tidak melaksanakan haji, maka
hendaknya ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani."
Lalu tinbul pertanyaan, bagaimana berhaji dengan harta atau
uang hasil korupsi? Pertanyaan ini simpati kita ajukan mengingat banyak oknum
bergelar “Haji” terjerat kasus korupsi.
Hukum dasar korupsi di dalam Islam adalah haram. Alquran
pun dengan tegas melarang kita untuk memakan harta dengan jalan yang batil.
"Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah[2]:
188).
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjelaskan korupsi
sebagai risywah. Pemberian yang diberikan seseorang kepada orang lain (pejabat)
dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidal benar menurut
syariah) atau membatilkan perbuatan yang haq.
Pemberi disebut rasyi, sedangkan penerima disebut
murtasy. Sementara, penghubung antara rasyi dan murtasyi disebut ra'isy. Karena
itu, MUI memberi fatwa bahwa hukum korupsi adalah haram. Semua lapisan
masyarakat pun berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktik
tersebut.
Dalam fatwanya, Baitul Masail Nahdlatul Ulama (NU)
menukil bahwa kalangan Hanafi, Maliki, dan Syafi'i membedakan haji dengan harta
yang haram, termasuk korupsi. Haji sebagai ibadah yang diatur dalam agama tidak
berkaitan dengan harta yang haram.
Sama halnya dengan orang sembahyang di tanah rampasan
(hasil kezaliman). Sembahyangnya sendiri itu tetap sah. Tetapi, menempati tanah
yang diharamkan itu yang dilarang oleh agama. Karenanya, ibadah haji atau
shalat tidak bisa disifatkan haram. Meskipun gugur kewajiban ibadah itu,
manasik haji tidak diterima dan mendapatkan pahala dari Allah.
Nasib manasik hajinya sama seperti orang sembahyang
tetapi riya atau berpuasa tetapi ghibah. Semuanya tidak diganjar
pahala. Demikian argumentasi yang diajukan Ibnu Abidin dalam Haysiyah Raddul
Mukhtar, Beirut, Darul Fikr, 2000 M/1421 H, Juz 2 halaman 456.
Sementara, Mazhab Hanbali sepakat dengan jumhur ulama
perihal penerimaan dan pahala. Mereka yang menunaikan ibadah haji dengan harta
haram tidak menerima pahala. Mazhab Hanbali pun menyatakan bahwa haji yang
dibiayai dengan harta haram tidak sah.
Karena itu, mereka harus mengulang hajinya pada tahun
depan karena hajinya tahun ini tidak sah. Karena, seorang Muslim tidak boleh
mencampurkan antara ibadah dan hal-hal batil.
Baitul Masail NU pun berpendapat, Mazhab Hanbali perlu
dipelajari lebih lanjut dari sisi moralitas ibadah. Semangat apa yang
difatwakan Imam Hanbali bisa jadi mengantisipasi kemungkinan orang melakukan
pencucian uang dengan menunaikan ibadah haji. Dengan demikian, haji bukan hanya
dipandang secara rangkaian upacara formal.
Tetapi, kebersihan harta sebagai penggerak manasik haji
itu sendiri mesti dipastikan. Bukan asal berangkat haji.
Pandangan Mazhab Hanbali bisa secara moral menghentikan kezaliman, suap, kecurangan, korupsi, atau kejahatan umat Islam dalam menjalankan praktik bisnis, mengemban jabatan publik, atau menjalani kesehariannya sebagai pegawai negeri sipil, dan profesi lainnya. (*)
Komentar