Kalimat Tauhid: Simbol untuk Mati, Lawan Branding Menyesatkan

Bendera Tauhid. |F oto: IST

MANUSIA adalah makhluk simbol. Kita berkomunikasi dengan simbol, berekspresi
dengan simbol. Sebab simbol adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan hidup
manusia.

Dulu pas masih nggak beragama,
pas SD saya sering gambar simbol ’S’ di dalam kotak segilima model berlian,
Superman. Atau gambar kelelawar simbol Batman, atau laba-laba simbol
Spiderman. 

Agak gede, saya senang basket,
pakai simbol Orlando Magic dan Chicago Bulls kemana-mana, kalau punya baju
pengennya angka 23, Michael Jordan, atau 1 Anfernee Hardaway.

Pas SMA, seneng bola, baju
saya ganti nomor 9 garis hitam-biru Nerazzuri Intermilan, Ronaldo. Atau nomor
10 warna merah Manchester United, Beckham. 

Kita semua berekspresi lewat
simbol itu semua sebelum Muslim. Saat sudah Muslim, simbol apa yang lebih keren
dari kalimat tauhid? Laa ilaaha illa Allah Muhammadur Rasulullah?

Tentu ini yang paling keren. Kenapa? Sebab inilah kalimat yang bakal saya share ke orang lain, andaikan saya ditanya, "Ada pesan terakhir sebelum mati?" Yakin banget, sebab kalimat itu gue banget! Gituloh.



Apalagi kita tahu lewat hadits
yang diriwayatkan Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah punya bendera hitam dan putih,
yang bertuliskan kalimat tauhid diatasnya. Bangga kan.

Nah, hanya mereka yang jadikan
si Abu-abu sebagai rujukan yang bilang bahwa bendera putih dan hitam
bertuliskan tauhid adalah bendera HTI, bendera teroris.

Harusnya bangga kan kalau
anak-anak muda malah pride angkat bendera tauhid, kok bisa-bisanya ada yang
sewot. Bahkan kata menteri agama ini urusan yang dianggap serius? Lucunya
negeri berflower ini. 

Perbuatan kaum Nabi Luth nggak
dianggap ancaman, seks bebas dan pendangkalan akidah jalan terus. Tapi yang
disalahkan malah bendera tauhid Kalau nggak bendera ini yang dibanggain, mau
bangga sama apalagi? Kalau nggak Islam yang ditanam ke anak-anak muda, lalu mau
apalagi? Jahil jangan diboronglah.

Apalagi, bagaimana kalau
ternyata semua ini adalah bagian daripada kampanye? Bertopeng judul
"De-Radikalisasi" padahal sebenarnya adalah
"De-Islamisasi?" Bagaimana? 

Lihat saja, penelitian,
berita, pernyataan tokoh yang dinaikkan media dan penguasa saat ini. Selalu
memosisikan bahwa radikal itu dekat dengan ulama, dekat dengan Islam. Mau
menerapkan syariat, intoleran. 

Bicara Khilafah, radikal. Tapi
curang dianggap biasa, kader partai berzina beramai-ramai malah masuk berita,
eljibiti diberi ruang.

Perhatikan, saat ini bicara Khilafah itu lebih terlarang dari bicara legalisasi miras. Bendera tauhid Rasulullah sudah sama nilainya dengan bendera palu arit, miris. Semua adalah branding, yang pelakunya entah sadar entah tidak. Tapi semua yang berhubungan dengan Islam sepertinya harus dihapus, bernafsu sekali.



Lihat gegasnya penguasa saat
ada bendera tauhid dikibarkan siswa MAN, dan taruna akmil. Bandingkan
penyikapannya dengan kasus eljibiti, zina, dan lainnya di sekolah 2016 saja,
terdata 300.198 terindikasi gay di Jawa Barat, 218.227 di Jawa Tengah. 

Survei KPAI pada 2014
menunjukkan 62,7 persen remaja melakukan seks di luar nikah. Mana bahaya yang
sesungguhnya?

Ini baru sektor pergaulan
bebas. Bukankah harusnya bahaya di depan mata ini yang dipikirkan penguasa?
Masa depan NKRI? Dan seharusnya mereka paham, bahwa data-data di atas adalah
hasil "promosi" nilai-nilai non-Islami yang selama ini ada, via
tontonan, pelajaran, dan kebijakan publik.

Bukankah harusnya penguasa merasa
lebih aman ketika pemuda justru bangga mengangkat bendera tauhid? Bukankah
harusnya bangga kalau siswa pada salih? 

Bukannya malah mensimbolisasi
bendera tauhid, rohis, ormas Islam, ulama, dan istilah Islam menjadi radikal,
teroris dan ekstrimis. Islam itu solusi, bukan malah ditakut-takuti.

Bagi kaum Muslim, apakah Anda
terima bila saat ini simbol Islam malah di-branding radikal? Bila tidak,
banggalah dengan simbol-simbol Islam, tak perlu takut menggunakannya.

Tak mungkin orang mencintai
itu hanya di hati, ia harus diungkapkan. Dan apa yang lebih baik ketimbang
kalimat tauhid? Kalimat yang kita hidup dan mati di atasnya, dan kita
berbangkit dengannya, insyaallah. (*)

*Ustaz Felix Siauw