Wahai Rasulullah, Izinkan Aku Berzina

Ilustrasi |Foto: Islampos

SUATU hari seorang pemuda  mendatangi Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”

Bayangkan apa yang anda akan katakan pada saat ada seorang
anak muda, datang kepada anda dan meminta diidzinkan untuk berzina?

Kejadian ini bukan di warung atau di pasar, tapi terjadi di
dalam salah satu masjid paling mulia di muka bumi ini, di masjid Nabawi.

Terbayang oleh kita betapa Rasul bisa membuat anak muda ini
merasa begitu dekat dengan beliau dan bicara dengan sangat terbuka, bahkan
untuk hal yang kita tahu ini sebagai salah satu dosa besar.

Orang-orang pun bergegas menghampiri pemuda itu dan menghardiknya.
Dan mereka mengatakan, “Diam … Diam ….”

Sementara Rasul malah menyuruh pemuda tersebut mendekat
kepada Rasulullah dalam jarak sangat dekat kemudian Rasulullah menyuruh pemuda
itu untuk duduk.

Sungguh luar biasa! Zina adalah salah satu dosa besar yang
hukumannya bagi si pelaku adalah di rajam sampai mati (kalau pelaku sudah
menikah) atau didera dengan 100 kali cambukan untuk mereka yang masih bujangan.

Bukankah Rasulullah adalah orang yang paling pantas
mengatakan bahwa itu haram dan dosa besar bagi pelakunya?

Tapi lihat bagaimana Rasulullah dengan kelembutannya memanggil pemuda itu untuk mendekat sangat dekat, bahkan meminta dia duduk berhadapan dengan Rasulullah.



Rasulullah mengatakan : “Apakah engkau suka kalau
itu terjadi pada ibumu?”

Masya Allah beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam membuat
permisalan yang mengangkat logika pemuda yang hampir padam karena terjangan
syahwatnya.

Syahwat yang mendominasi dalam diri seseorang akan mematikan
logika berfikirnya. Sehingga menjadi nekad dan tidak memperhitungkan resikonya.

Pertanyaan Rasulullah, “Apakah engkau suka kalau itu
terjadi pada ibumu?”,
menohok logika berfikirnya dan menyentuh perasaannya.

Lalu pemuda itu menjawab, “Tidak, demi Allah semoga
Allah menjadikan aku sebagai tebusan dirimu.”

Rasulullah berkata, “Dan begitu pula seluruh manusia
tidak ingin engkau berzina dengan ibu-ibu mereka.”

Rasulullah berkata lagi, “Apakah engkau suka kalau
itu terjadi pada anak perempuanmu?”

Pemuda itu kembali menjawab, “Tidak demi Allah ya
Rasulullah semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusan dirimu”.

Rasulullah berkata, “Begitu pula seluruh manusia
tidak ingin engkau melakukan itu kepada anak perempuan mereka.”

Rasulullah berkata lagi, “Apakah engkau suka kalau
itu terjadi kepada saudara perempuanmu?”

Pemuda itu kembali menjawab, “Tidak demi Allah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusan dirimu”.



Rasulullah berkata, “Begitu pula seluruh manusia
tidak ingin engkau melakukan itu kepada saudara perempuan mereka.”

Kemudian Rasul bertanya lagi : “Apakah engkau suka
kalau saudara perempuan ayahmu berzina?”

Dia menjawab : “Demi Allah tidak! Semoga Allah
menjadikan aku sebagai tebusanmu.”

Rasul pun menjawab : “Demikian juga orang lain.
Mereka tidak mau kalau engkau berzina dengan saudara perempuan ayah mereka.”

Kemudian Rasul bertanya lagi : “Apakah engkau suka
kalau saudara perempuan ibumu berzina?”

Dia menjawab : “Demi Allah tidak! Semoga Allah
menjadikan aku sebagai tebusanmu.”

Rasul pun menjawab : “Demikian juga orang lain. Mereka tidak mau kalau engkau berzina dengan saudara perempuan ibu mereka.”



Kemudian Nabi meletakkan tangan beliau kepada si pemuda itu
seraya mendo’akannya :

“Ya Allah, ampunilah dosanya, sucikanlah hatinya, dan
jagalah kemaluannya.”

Setelah itupun si pemuda sama sekali tidak punya keinginan
lagi untuk berzina.

Beginilah cara Rasulullah menghadapi seorang anak muda yang
telah tertutupi akal fikirannya dengan syahwat yang menggebu-gebu.

Menghidupkan logikanya yang terpuruk dan menyentuh hatinya
secara berulang. Padahal Nabi bisa melakukan itu dalam satu kali nasehat. Tapi
Nabi mengulangnya sampai beberapakali.

Dan terakhir beliau mendoakannya. Inilah yang sering kita
lupakan. Betapa jarangnya kita mendoakan agar orang-orang yang telah melakukan
kesalahan agar ia berubah menjadi baik.

Terkadang saat kesalahan itu terjadi pada diri anak-anak kita. Kita lebih cenderung mengingatkan kepada dirinya untuk tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Tapi lupa meminta kepada sang pemilik hati agar ia terhindar dari kesalahan yang ia lakukan itu.(Arrahman)