Masih Ekspansif, Industri Manufaktur Dongkrak Ekonomi Tumbuh Signfikan
SEURAMOE JAKARAT - Industri manufaktur di Indonesia masih menunjukkan geliat yang positif untuk terus meningkatkan investasi dan ekspansi. Guna mendukung gairah usaha ini, pemerintah berkomitmen menciptakan iklim bisnis yang kondusif dengan memberikan fasilitas fiskal dan kemudahan perizinan.
BACA JUGA:
“Oleh karena itu, pemerintah semakin serius dan gencar
mendorong kebijakan hilirisasi industri karena dinilai mampu mendongkrak
pertumbuhan ekonomi nasional yang signifikan,” kata Menteri Perindustrian
Airlangga Hartarto di Jakarta, Kamis (14/3).
Menperin menegaskan, selama ini kebijakan hilirisasi
industri telah memberikan efek berantai yang luas bagi perekonomian nasional
mulai dari peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan
tenaga kerja lokal, hingga penerimaan devisa dari ekspor.
“Sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo, hilirisasi
perlu benar-benar digenjot. Sehingga kita tidak perlu lagi ekspor bahan baku
mentah. Jadi, kita harus berani beralih, dengan mengirim barang dalam bentuk
setengah jadi atau jadi,” paparnya.
Langkah strategis tersebut sesuai dengan implementasi
peta jalan Making Indonesia 4.0, yang bertujuan untuk merevitalisasi sektor
manufaktur agar lebih berdaya saing global di era industri 4.0. Untuk itu,
pemerintah menekankan pentingnya melakukan transformasi ekonomi, yang menggeser
ekonomi berbasis konsumsi menjadi berbasis manufaktur.
UNIDO mengemukakan, Indonesia termasuk dari 4 negara Asia yang memiliki nilai tambah sektor manufakturnya tertinggi di dunia. “Jadi, kita bersama China, Jepang, dan India,” imbuh Airlangga. Nilai tambah industri nasional meningkat hingga USD34 miliar, dari tahun 2014 yang mencapai USD202,82 miliar dan tahun 2018 menjadi USD236,69 miliar.
“Kebijakan saat ini diarahkan pada pembangunan dan
pemerataan ekonomi yang lebih inklusif dan berkualitas. Kami optimistis, itu
bisa mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta meningkatkan lapangan kerja
sebanyak-banyaknya,” tutur Airlangga.
Berdasarkan laporan Nikkei, indeks manajer pembelian
(Purchasing Managers’ Index/PMI) manufaktur Indonesia mengalami kenaikan, dari
bulan Januari 2019 yang berada di level 49,9 menjadi di angka 50,1 di Februari.
Level di atas 50 menandakan sektor manufaktur tengah ekspansif.
“Artinya, dari capaian tersebut, para investor di sektor
industri melihat bahwa Indonesia telah mampu mengelola ekonomi melalui norma
baru,” terangnya. Norma baru yang dimaksud, adalah rata-rata negara industri di
dunia saat ini mengalami kontribusi manufakturnya terhadap ekonomi hanya
sebesar 17 persen.
Namun, ada lima negara yang sektor industri
manufakturnya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}),
Korea Selatan (27{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}), Jepang (21{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}), Jerman (20,6{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}), dan Indonesia (20,5{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc}).
“Kalau merujuk data World Bank, sekarang tidak ada lagi negara di dunia yang
kontribusi industrinya bisa mencapai di atas 30 persen,” ungkapnya.
Bahkan, pertumbuhan ekonomi global dan negara-negara
industri tidak ada lagi yang dua digit. Menurut data Bank Indonesia (2019),
pertumbuhan China turun dari 6,9{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2015) menjadi 6,5{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2018: kuartal IV), Korea
Selatan turun dari 2,8{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2015) menjadi 2{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2018: kuartal IV), dan India turun
dari 7,4{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2015) menjadi 6,7{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} (2018).
“Kita patut bersyukur, di tengah tekanan angin global, ekonomi kita tumbuh dari 5,07{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} di tahun 2017 menjadi 5,17{0f60ad9132c3e0215b9d4d95fce70c5fc1b55021c3329fc760dd0e0765c0bfcc} pada 2018. Sektor industri manufaktur konsisten menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan ekonomi nasional tersebut,” ungkap Menperin.
Kontribusi terbesar
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, industri
pengolahan memberikan kontribusi terbesar terhadap struktur produk domestik
bruto (PDB) nasional hingga 19,86 persen sepanjang tahun 2018. Dalam hal ini,
Kemenperin tengah menggenjot kinerja dan investasi industri manufaktur yang
berorientasi ekspor dan substitusi impor.
“Upaya tersebut akan memperkuat struktur sektor
manufaktur dan perekonomian kita. Ini tentunya akan mendongkrak daya saing
Indonesia,” tegasnya. Kemenperin mencatat, investasi di sektor industri
manufaktur terus tumbuh signifikan. Pada tahun 2014, penanaman modal masuk
sebesar Rp195,74 triliun, kemudian naik mencapai Rp222,3 triliun di 2018.
“Peningkatan investasi ini turut mendongkrak penyerapan
tenaga kerja hingga 18,25 juta orang di 2018. Jumlah tersebut berkontribusi
sebesar 14,72 persen terhadap total tenaga kerja nasional,” ungkap Menperin.
Selanjutnya, selama empat tahun terakhir, ekspor dari
industri pengolahan nonmigas terus meningkat. Pada 2015, nilai ekspor produk
manufaktur mencapai USD108,6 miliar, naik menjadi USD110,5 miliar di tahun
2016. Pada 2017, ekspor nonmigas tercatat di angka USD125,1 miliar, melonjak
hingga USD130 miliar di tahun 2018 atau naik sebesar 3,98 persen.
“Jadi, tahun lalu kontribusi ekspor produk manufaktur
terbesar dengan mencapai 72,25 persen. Di tahun 2019, kami akan lebih genjot
lagi sektor industri manufaktur untuk meningkatkan ekspor, terutama yang punya
kapasitas lebih,” ungkap Airlangga.
Berdasarkan catatan Kemenperin, industri pengolahan
nonmigas mampu tumbuh sebesar 4,77 persen pada tahun 2018. Adapun sektor yang
menjadi penopangnya dan mampu melampaui pertumbuhan ekonomi, antara lain
industri mesin dan perlengkapan yang tumbuh 9,49 persen, disusul industri
kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang tumbuh 9,42 persen.
“Di industri petrokimia misalnya, kita perlu memperdalam lagi strukturnya di sektor hulu. Karena ini akan mendukung sektor hilirnya. Saat ini, permintaan kita untuk produk petrokimia seperti plastik dan lainnya sudah mencapai 5 juta ton per tahun,” kata Airlangga.
Selanjutnya, kinerja gemilang juga ditunjukkan oleh
industri logam dasar yang tumbuh 8,99 persen, industri tekstil dan pakaian jadi
yang tumbuh 8,73 persen, industri makanan dan minuman yang tumbuh 7,91 persen,
serta industri karet, barang dari karet dan plastik yang tumbuh 6,92 persen.
Oleh karenanya, Kemenperin mengapresiasi industri
petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. dan PT. Lotte Chemical Indonesia
yang telah merealisasikan investasinya untuk menambah kapasitas nasional
khususnya bahan baku kimia berbasis nafta cracker untuk memenuhi kebutuhan
pasar domestik dan ekspor.
“Chandra Asri yang saat ini kapasitasnya 1 juta ton,
kemudian ekspansi menjadi 2 juta ton dan Lotte menambah kapasitas 2 juta ton
per tahun. Untuk mengisi kebutuhan lainnya, kami mendorong untuk menumbuhkan
industri recycle dalam rangka menerapkan circular economy. Sehingga kita tidak
perlu lagi impor,” paparnya.
Airlangga optimistis, di tengah ketidakstabilan ekonomi global, pertumbuhan industri manufaktur nasional diproyeksi sebesar 5,4 persen pada tahun 2019. Sektor-sektor yang akan menopangnya, antara lain yang ada di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, yaitu industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronika, serta kimia.(*)