Ingat! Pemberi dan Penerima Uang Suap di Pemilu Dilaknat Rasulullah
BARU-BARU ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita 400 ribu amplop yang berisi uang Rp 50 ribu
dan Rp 20 ribu saat melakukan OTT anggota DPR RI Bowo Sidik. Amplop sebanyak
itu rencanakan dipergunakan untuk serangan fajar dibagi-bagikan kepada warga
saat pemilu 17 April mendatang.
Harapannya agar warga memberikan suara kepada pihak yang
membagi-bagikan amplop. Lalu bagaimana pandangan Islam soal kasus ini?
Dalam Islam, hal ini terkategori sebagai risywah (sogok
atau suap). Uang tersebut diharamkan bagi yang memberi maupun yang menerima,
bahkan termasuk pula yang menjadi perantara.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).
Dalam riwayat yang lain Nabi melaknat al Ra-isy (الرَّائِشَ)
yaitu penghubung antara penyuap dan yang disuap (HR. Ahmad 5/279). Meski hadits
ini lemah namun maknanya benar.
Orang yang menjadi penghubung antara penyuap dan yang
disuap berarti membantu orang untuk berbuat dosa dan ini adalah suatu yang
terlarang. Hadits di atas menunjukkan bahwa suap termasuk dosa besar, karena
ancamannya adalah laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Bahkan sogok itu
haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan ulama).
Dalam fatwa Al Muntaqo, Syaikh Sholeh Al Fauzan mengenai
hukum menerima uang sogok, beliau berkata, “Mengambil uang sogok termasuk
penghasilan yang haram, keharaman yang paling keras dan penghasilan yang paling
jelek.”
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:
الرشوةمايعطىلإبطالحق،أولإحقاقباطل
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan (oleh
seseorang) untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah.
(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 24/256).
Sementara Ibnu Abidin menjelaskan:
الرشوة: مايعطيهالشخصالحاكموغيرهليحكملهأويحملهعلىمايريد
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada hakim atau yang lainnya, agar memberi keputusan yang menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan. (Hasyiyah Ibn Abidin, 5/502)
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan
Ibn Abidin di atas,
“Dari apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah bahwa
suap bentuknya lebih umum, tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk
mempengaruhi hakim agar memutuskan sesuai keinginannya.
Sementara yang menjadi sasaran suap adalah semua orang
yang diharapkan bisa membantu kepentingan penyuap. Baik kepala pemerintahan,
maupun para pegawainya.
Maksud Ibn Abidin: “agar memberi keputusan yang
menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan”
adalah mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan keinginan penyuap. Baik dengan
alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)
Untuk itulah, para ahli fikih kontemporer, terutama
ulama Mesir, menyebut praktek money politic dengan istilah
ar-Risywah al-Intikhabiyah[arab: الرشوةالانتخابية], sogok pemilu. Dan mereka
menegaskan bahwa praktek semacam ini termasuk tindakan haram dan melanggar
aturan syariat.
Mereka yang memberi sogok seperti ini hakekatnya adalah
orang-orang yang tamak dan gila pada kekuasaan. Saat sudah memegang tampuk
kekuasaan, mereka cuma ingin harta sogoknya kembali, sehingga korupsi dan
pencurian uang rakyat yang terjadi. Orang yang tamak pada kekuasaan ini dicela
oleh Rasul dan akan menyesal pada hari kiamat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإمَارَةِ ، وَسَتَكونُ نَدَامَةً
يَوْمَ القِيَامَة
“Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun
kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (HR. Bukhari no.
7148).
Tujuan utama money politics, nyebar
duit ketika Pemilu adalah membeli suara. Uang yang diberikan oleh Caleg kepada
masyarakat, tujuannya menggiring mereka untuk mendukung mereka, tanpa memandang
baik dan buruknya karakter mereka.
Karena itu, bisa jadi uang ini diterima dalam rangka
membela dan membenarkan kebatilan dan ini semakna dengan risywah (suap).
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:
الرشوةمايعطىلإبطالحق،أولإحقاقباطل
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan (oleh seseorang) untuk menyalahkan yang benar atau membenarkan yang salah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 24/256).
Sementara Ibnu Abidin menjelaskan:
الرشوة: مايعطيهالشخصالحاكموغيرهليحكملهأويحملهعلىمايريد
Risywah (suap) adalah sesuatu yang diberikan oleh
seseorang kepada hakim atau yang lainnya, agar memberi keputusan yang
menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan.
(Hasyiyah Ibn Abidin, 5/502)
Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya menjelaskan keterangan
Ibn Abidin di atas,
“Dari apa yang disampaikan Ibn Abidin, jelaslah bahwa
suap bentuknya lebih umum, tidak hanya berupa harta atau jasa tertentu, untuk
mempengaruhi hakim agar memutuskan sesuai keinginannya.
Sementara yang menjadi sasaran suap adalah semua orang
yang diharapkan bisa membantu kepentingan penyuap. Baik kepala pemerintahan,
maupun para pegawainya.
Maksud Ibn Abidin: “agar memberi keputusan yang
menguntungkan dirinya atau memaksanya untuk melakukan apa yang dia inginkan”
adalah mewujudkan apa yang menjadi tujuan dan keinginan penyuap. Baik dengan
alasan yang benar maupun salah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz, 23/223 – 224)
Untuk itulah, para ahli fikih kontemporer, terutama
ulama Mesir, menyebut praktek money politic dengan istilah
ar-Risywah al-Intikhabiyah [Arab: الرشوةالانتخابية], sogok pemilu. Dan mereka
menegaskan bahwa praktek semacam ini termasuk tindakan haram dan melanggar
aturan syariat.(voa-islam)