Ibu, Sang Arsitek Pencetak Generasi Handal dan Berkualitas

Foto Ilustrasi: GOOGLE

Oleh : Isty Shofiah, S.Pd

PERNAH Menonton
drama korea (drakor) Sky Castle? Serial ini berkisah tentang para
orangtua yang menginginkan kesuksesan anak lewat pendidikan. Begitu menarik
kisahnya karena pendidikan anak menjadi prioritas utama yang digambarkan dalam
film tersebut.

Berbagai cara dilakukan sang ibu untuk mendapat nilai
terbaik. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak biaya hanya untuk menyewa konselor
atau tutor bagi anaknya. Ya, film tersebut banyak diminati di tengah hausnya
pendidikan parenting saat ini dimana peran orangtua tak lagi berfungsi
sebagaimana mestinya.

Dari film tersebut, setidaknya ada dua hal yang dapat kita
ambil sebagai pelajaran:

Pertama. Wajibnya menuntut ilmu. Dalam film tersebut,
para ibu menggunakan berbagai cara agar anaknya masuk dalam satu perguruan
tinggi bergengsi. Obsesi tersebut menjadikan anak-anaknya memiliki jiwa dan
karakter yang  kurang baik. Pasalnya, mereka mengalami banyak tekanan
dalam belajar.

Anggapan bahwa sekolah di kampus terbaik akan menjadikan sang anak mudah mendapatkan pekerjaan bukan hanya dalam film namun secara nyata banyak dijumpai. Wajar, pernyataan seperti itu muncul akibat sistem kehidupan yang dipakai di seluruh negara.

Itulah Kapitalisme, yang menjadikan segalanya berorientasi
pada materi. Termasuk dalam hal pendidikan. Karena kesuksesan di alam
kapitalisme diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Wajar jika tujuan
bersekolah saat ini adalah untuk mendapatkan pekerjaan.

Berbeda dengan Islam yang mewajibkan setiap individu untuk
menuntut ilmu. Kewajiban ini berlaku bagi setiap insan, laki-laki maupun
perempuan. Bahkan surah yang pertama kali diterima Rasulullah SAW, adalah surah
Al-Alaq yakni perintah untuk membaca. Islam memberikan penghargaan dan
kemuliaan terhadap orang-orang berilmu. Sebagaimana firman-Nya berikut,



“Diangkat oleh Allah orang-orang yang beriman daripada kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa derajat” (Tqs Al-Mujadalah :
11)

“Katakanlah! adakah sama antara orang-orang yang berlimu dan
orang-orang yang tidak berilmu?” (Tqs Az-Zumar: 9)

Tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan memegang peranan penting dalam pembangunan peradaban manusia. Dengan ilmu, manusia mampu memilih dan memilah, mana yang baik dan buruk, serta halal dan haram.

Para ilmuwan tidak hanya menguasai satu bidang ilmu. Seperti
Al-khawarizmi, penemu angka nol. Ia tidak hanya menguasai algoritma dan
astronomi. Dalam hal agama, ia pun telah hafal Qur’an sejak kecil dan menguasai
ilmu fiqih.

Ada juga Ibnu Sina yang disebut dengan Bapak Kedokteran.
Ibnu Al-Haitham penemu lensa kamera yang tanpanya kita tak akan mengenal
fotografi dan semacamnya. Begitu juga dengan Maryam Al-Astrolabi penemu
astrolube, yaitu semacam kompas yang digunakan hingga detik ini untuk
mengetahui arah saat perjalanan laut.

Masih banyak ilmuwan muslim yang ilmunya begitu berpengaruh
hingga saat ini. Itu sebagian dari generasi polimatik yang lahir pada masa
kejayaan Islam. Tujuan mereka menuntut ilmu hanyalah meraih ridho-Nya. Sehingga
apa yang mereka pelajari semata-mata untuk Islam dan kemajuannya.

Kedua. Ibu adalah arsitek peradaban. Pada salah satu scene yakni
ketika seorang pelatih/tutor akan memilih anak siapa yang akan dilatihnya
dengan cara melakukan interview terhadap ibu. Ia mengatakan bahwa ibu yang
bekerja akan sulit mengantarkan anaknya pada gerbang kesuksesan.

Pada masa kejayaannya, Islam mampu mencetak generasi-generasi
unggul yang polimatik. Yakni, tidak hanya unggul dalam pengetahuan agama namun
juga pengetahuan sain dan teknologi.

Itu karena ada anggapan bahwa ibu bekerja tidak punya cukup waktu untuk membersamai anaknya. Sebaliknya, ibu rumah tangga dianggap mampu karena dapat fulltime membersamai anaknya belajar, dan tentu akan mengenal karakteristik anak lebih mendalam dibanding ibu pekerja.



Poin ini menarik di tengah gencarnya ide feminisme yang
mengubah cara pandang kebanyakan ibu saat ini untuk keluar bekerja. Film ini
justru menggambarkan sebaliknya. Ibu rumah tangga dianggap profesi ideal bagi
pembentukan generasi.

Mari kita lihat bagaimana Islam memandang. Dalam Islam, ibu
adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Ia mengasuh dan mendidiknya dengan
baik. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus juga dibutuhkan anak dalam
perkembangan kecerdasan emosionalnya.

Ketika anak merasa disayang, ia belajar untuk menghargai
dirinya, menumbuhkan rasa percaya diri, kemampuan untuk berempati dan berbagi
kasih sayang kepada orang lain. Begitu juga dengan pemahaman yang utuh terhadap
anak dalam berbagai hal. Itu semua tentulah datang dari seorang Ibu. Bila
fungsi Ibu terabaikan karena Ibu harus keluar bekerja, maka adakah fungsi ini
akan tergantikan?

Ibunda para Ulama

Teringat suksesnya ibunda Imam Syafi’i yang mengantarkankan
putranya menjadi ulama besar. Beliau mewakili perjuangan para ibu dari
tokoh-tokoh agama. Suaminya meninggal sebelum Imam Syafi’i lahir. Ia
membesarkan Syafi’i sendirian dan memotivasinya untuk belajar. Usia 7 tahun
Syafi’i telah hafal Alqur’an. Ia mengantarkan Syafi’i kepada guru-gurunya untuk
belajar.

Tidak sedikit Ulama/Tokoh-tokoh besar yang sukses karena
peran seorang ibu di belakangnya. Mungkin nama para ibu ini tidak pernah
tercatat dalam sejarah. Namun anak-anak mereka tercatat dengan tinta emas. Dan
itu cukup menjadi bukti eksistensi  seorang ibu.

Berperan sebagai ibu ideal tentu menjadi cita-cita para ibu.
Mendampingi anak, mendidik mereka dengan baik dan mencetak mereka menjadi
generasi unggul yang mengisi peradaban bangsa. Namun, tantangan demi tantangan
juga banyak dihadapi oleh Ibu masa kini.

Mulai dari faktor ekonomi yang semakin hari semakin menyekik
banyak keluarga hingga permasalahan mahalnya pendidikan untuk anak. Tak heran
banyak ibu rumah tangga yang akhirnya beralih profesi untuk membantu suami
dengan turut bekerja.

Hal lain yang harus dimiliki oleh seorang ibu adalah wawasan
untuk mendidik anak. Di sinilah pentingnya ilmu parenting bagi orangtua,
khususnya ibu. Dengan ilmu, seorang ibu akan memahami potensi yang dimiliki
anak sehingga bisa mengembangkannya. Ibu seperti inilah yang insya Allah akan
mampu mencetak generasi unggul.  

Untuk itu, dibutuhkan peran negara dalam hal ini. Negara
harus menjamin agar para ibu fokus menjalankan peran keibuannya dengan
sempurna. Janganlah beban mencari nafkah dibebankan pada para ibu sehingga
mereka terpaksa ke luar rumah untuk bekerja atau bahkan ke luar negeri sebagai
pahlawan devisa.

Selain itu, negara juga wajib menjamin pendidikan Ibu agar
tidak hanya menjadikan materi sebagai orientasi hidupnya. Ibu yang sesungguhnya
memunyai tanggung jawab besar di pundaknya untuk masa depan bangsa. Karena para
ibu ialah arsitek peradaban gemilang, pencetak generasi cemerlang. Wallahu
alam. (voa-islam.com)