Fahrul Rozi Desak Pemerintah Pusat Penuhi Janjinya Bagi Korban Konflik Aceh
JAKARTA – Senator asal Aceh yang juga Ketua Komite I DPD RI
Fahrul Rozi mendesak pemerintah pusat untuk segera merealisasikan memenuhi
janji-janji bagi korban konflik HAM di Aceh, sesuai perjanjian Helsinki, yang
sudah berjalan 14 tahun sejak tahun 2015 silam.
“Pemerintah
sampai hari ini belum memenuhi janjinya sesuai kesepakatan atau MoU Helsinki,
2015. Bahkan pemerintah daerah Aceh juga setengah hati mendukung realisasi
pemenuhan hak-hak sipil tersebut,” demikian disampaikan Fahrullrozi yang
didampingi komisioner Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Muhammad
Daud Berueh, di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (19/8).
Menurut
Fahrul Rozi ada 11 pasal Perda Aceh yang bertentangan dengan perjanjian
Helsinki tersebut. Karena itu dia mendesak Presiden Jokowi untuk memperhatikan
dan memenuhi hak-hak sipil korban konflik Aceh tersebut.
Sementara
itu KKR Aceh kata Daud Berueh merekomendasikan empat hal; Pertama, mendesak
Presiden RI segera memperkuat kelembagaan KKR Aceh melalui Peraturan Presiden
(Perpres) agar KKR dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal di sisa
periode 2016 – 2021.
Kedua, meminta
pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Pemerintah Pusat meningkatkan dukungan penuh
kepada KKR Aceh untuk menjalankan mandat pengungkapan kebenaran. Selama ini
sudah terjalin komunikasi yang baik antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat
melalui Dirjen HAM, Kantor Staf Presiden, Kementerian Dalam Negeri dan
Kemenko-polhukam.
Ketiga,
meminta pemerintah Aceh segera menjalankan atau merealisasikan reparasi atau
pemulihan yang mendesak sebagaimana yang telah direkomendasikan oleh KKR Aceh.
Dalam dokumen rekomendasi tersebut berikut identitas lengkap korban, peristiwa
yang dialami, dampak yang diderita hingga kin.
Keempat, mendesak
pemerintah Aceh dan DPR Aceh ke depan diharapkan menggunakan perspektif
penyusunan legislasi dan anggaran berbasis kebutuhan korban pelanggaran HAM
sebagaimana rekomendasi yang telah disampaikan oleh KKR Aceh. Hal ini penting,
mengingat masih banyak korban yang belum memperoleh pemenuhan hak atas
pemulihan. (*)